Kamis, 05 Januari 2012

semiotika



REVIEW OF BOOK ARCHAELOGY, DISCOVERING OUR PAST

OLEH:

SARTIKA B.
F61108272

JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010



Dalam materi atau buku yang telah saya baca dapat saya simpulkan bahwa pada awalnya dijelaskan tentang ideologi. Selanjutnya menjelaskan tentang simbol. Simbol tidak hanya dilihat dari ada gambar dan maknanya. Artinya ketika melihat penanda dan petanda maka diketahuilah simbolnya. Simbol juga dapat dilihat dari ada artefak atau bendanya kemudian dilanjutkan dengan aktivitasnya itu juga dapat dikatakan simbol. Sesuai dengan buku yang saya telah terjemahkan yang memberi contoh ketika orang sedang melakukan upacara bendera dan saat dimintai untuk hormat,maka secara langsung akan hormat. Penandanya adalah bendera, sedangkan petandanya adalah rasa patriotisme ditandai dengan memberi hormat pada bendera.
           
            Buku ini juga menjelaskan tentang bagaimana sebuah simbol digunakan dalam upacara adat. Salah satu contohnya adalah bagaimana sebuah jembatan sangat berguna untuk sampai ke tempat yang dituju. Simbol sangat penting dalam menginterpretasi. Dalam penafsiran simbol, yang pertama akan muncul di benak kita ide-ide atau ideologi. Setelah itu identifikasi benda atau simbol dilakukan. Identifikasi akan menghasilkan makna-makna yang berasal dari simbol. Setelah identifikasi makna yang paling mendekati kebenaran yang akan dijadikan sebagai sebuah data yang dipakai terus-menerus. Kesimpulan makna terkuat, dari makna emik, dan terjadi dalam konteks sejarah. Manusia atau animal simbol disebut dalam contoh peng-identifikasi simbol. Salah satu contoh yang dituliskan di buku ini adalah ketika Penggambaran dari banyak dewa pra-Columbian Mesoamerica, ditemukan dalam konteks arkeologi, dapat diidentifikasi berdasarkan nama, dan karakteristik khusus yang disimpulkan, berdasarkan naskah tertulis pada saat penjajahan spanyol. Intinya adalah dalam mencapai kesimpilan sesungguhnya di lihat dari yang paling mendekati berdasarkan bukti-bukti.  
            Arkeolog terkadang mengalami kesulitan ketika melakukan identifikasi gambar. Sebagai contoh gua-gua prasejarah paleolithik. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa zaman paleolithik jangka waktunya sangat jauh. Dalam mengidentifikasi gambar di gua-gua prasejarah yang beasal dari zaman paleolithik, dibutuhkan analog-analog yang bisa menganalogi. Bantuan ini diharapkan dapat membantu arkeolog dalam mengambil kesimpulan yang akan mendekati kebenaran. Selain pendekatan yang mendekati kebenaran juga dibutuhkan pendekatan yang mendekati objektifitas. Representasi dari kehidupan kuno yang banyak semakin sulit, maka untuk mengidentifikasi dan menginterpretasikan lebih simbolisme dengan cara yang abstrak atau dipersingkat. Manusia bersimbol, karena manusia menggunakan simbol untuk menyampaikan apa yang dimaksudkan dari simbol yang digambarkan. Manusia berharap dengan bersimbol akan menyampaikan sesuatu itulah harapan dari manusia bersimbol. Ada makna-makna tersendiri yang ingin disampaikan, jadi manusia disebut mahluk yang bersimbol.


           

semiotika


BAB I
PENDAHULUAN
Pengantar
Makalah yang dibuat dengan tujuan mengajukan suatu kemungkinan untuk membuat suatu analisis semiotic terhadap suatu peninggalan purbakala, dalam hal ini sebuah candi. Kita tidak dapat lagi menghubungi para pembuatnya untuk menanyakan apa maksud, tujuan, serta, strategi mereka membuat benda dalam wujud seperti yang kita jumpai sekarang. Karena itu, analisis semiotic terhadap suatu peninggalan purbakala hanyalah dapat dilakukan apabila berbagai keterangan mengenai peninggalan tersebut sudah diketahui, baik dari kajian perbandingan sesame temuan maupun dari informasi yang diberikan oleh sumber-sumber tertulis sezaman. Persyaratan terakhir inilah yang membawa saya kepada pilihan candi jago, sebuah candi yang telah memilki berbagai keterangan saja.












BAB II
PEMBAHASAN
SEMIOTIKA DALAM ARKEOLOGI: CANDI JAGO DALAM TINJAUAN SEMIOTIK
Candi jago
            Susunan candi jago menyerupai bangunan berteras-undak-susun yang menempel pada lereng gunung, meskipun sesungguhnya bangunan ini didirikan di atas tanah datar. Bangunan teras bersusun tiga ini hanya mempunyai tangga disisi barat bagi setiap terasnya. Teras terbawah dengan sendirinya adalah yang paling luas. Teras kedua dan ketiga diatasnya serta ruang utama di puncaknya, masing-masing lebih kecil daripada teras di bawahnya, semuanya berangsur-angsur bergeser ke belakang kea rah timur.
Berbeda dengan rangkaian-rangkaian relief yang sebagian besar diambil dari khasanah sastra Hindu itu, arca-arca yang ditempatkan di dalam candi jago itu sepenuhnya bersifat Buddha. Arca utama menggambarkan Amoghapasa, yaitu salah satu wujud bodhisattwa Awalokiteswara, yang dalam hal ini berkedudukan di pusat mandala(lambing kosmos dalam ajaran agama Buddha Tantrayana). Dewata pusat ini didampingi di kiri dan kanannya oleh dua pasang dewa-dewi, yaitu Hayagriwa bersama Bhrkuti di sisi kiri, dan sudhana-kumara bersama syamatara di sisi kanannya. Di halaman candi itu terdapat pula arca-arca Buddha yang lebih kecil, yang tak diketahui lagi secara tepat tempat aslinya di dalam candi. Sifat Buddha dari arca-arca tersebut diketahui dari inskripsi-inskripsi pendek yang tertera padanya.
Kerangka konsep untuk analisis
Pembentukan konsep yang digunakan adalah yang telah dikenal dalam bidang kajian yang bersangkutan. Dalam hal ini yang diambil acuan adalah terbatas pada upaya-upaya pembentukan konsep yang telah dilakukan oleh Charles Sanders Peirce dan Edmund Leach (1986). Konsep-konsep beserta penamaannya perlu diberi pembatasannya. Konsep-konsep yang akan digunakan dalam bahasan ini adalah yang berkaitan dengan tanda dan penandaan, sesuai dengan cakupan kajian semiotik. Namun, konsep-konsep tersebut akan dilihat khususnya yang dapat digunakan untuk menganalisis perwujudan-perwujudan kebudayaan. Hal-hal yang menyangkut makna semiotik yang lebih luas, yang berkenaan dengan proses komunikasi serta sebab-akibat yang berlangsung di alam semesta yang lebih luas untuk sementara ini diabaikan.
            Istilah generic yang hendak dikemukakan dalam makalah ini adalah tanda (dalam bahasa Inggris sign), dalam bahasa Belanda teken ). Pengertian yang diwakili oleh istilah ini selanjutnya harus dibagi kedalam taksonomi dari kelas-kelas tanda yang dapat diperbedakan satu sama lain. Dengan kata lain, tanda atau sign adalah suatu kategori merupakan satu kelas yang mempunyai kekhasan dalam hal fungsinya untuk menghubungkan tanda dengan yang ditandakan.
            Kelas-kelas tanda, berturut-turut dari yang paling ketat hingga yang paling longgar hubungannya dengan yang ditandainya adalah seperti tercantum berikut. Dalam penjelasan mengenai masing-masing dari kelas tandai itu, tanda diberi lambing A,  sedangkan yang ditandakan dilambangkan dengan B,
(1)   Sinyal
Menunjukkan suatu hubungan kausal, dalam hal ini “B menyebabkan A melalui suatu respons terpicu”,
(2)   Indeks
“A menunjukkan B”, yang mempunyai dua variasi, yaitu “A menunjukkan arah B”, dan A” menunjukkan adanya B”,
(3)   Ikon
“A mewakili B melalui modus kemiripan”,
(4)   Simbol
“A mewakili B semata-mata karena konvensi, tanpa ada hubungan kemiripan antara keduanya”,
Pembuatan serta penafsiran untuk pemahaman tanda-tanda itu terjadi dalam masyarakat yang memiliki kebudayaan tertentu. Simbol sebagai tanda yang arbitrer, dengan demikian adalah yang paling dibatasi oleh kebudayaan. Sebaliknya, semakin ketat hubungannya antara yang ditandakan dan tandanya, sehingga menjadi seolah-olah semakin bersifat “dengan sendirinya”, semakin universallah pemahaman akan hubungan itu.
            Dalam hal ini perlu puladiperhatikan bahwa, meskipun seluruh proses pembuatan dan penafsiran tanda itu terjadi dalam masyarakat, tidak semua tanda adalah buatan manusia. Gejala-gejala atau unsure-unsur alamiah sering diterima manusia sebagai tanda. Dalam hal itu proses yang terjadi dalam hal pemahaman tanda tetap bersifat budaya. Tanda sebagai kategori budaya memerlukan persyaratan bahwa ia harus berfungsi melalui medium persepsi manusia dengan alat-alat indera sebagai salurannya, dan bahwa suatu prose belajar diperlukan untuk memungkinkan tanda tersebut berfungsi.

Sistem penandaan pada candi jago
            Menggunakan konsep-konsep tersebut diatas, dapatlah dicari system penandaan  yang melatari struktur candi Jago. Dapat dikatakan ada tiga unsure yang membentuk keseluruhan struktur Candi Jago, yaitu (a) susunan bangunannya; (b) rangkaian reliefnya; dan (c) tata arcanya. Berikut ini akan diperhatikan setiap unsure tersebut.
Susunan bangunan
            Dalam bangunan ini memiliki penandaan berupa dan ikon dalam hal susunan bangunan ini. Desain bangunan ini, dengan teras-teras bertingkat yang semua tangganya terdapat di sisi barat merupakan indeks untuk menunjukkan bahwa orang harus memasuki candi tersebut dari arah barat. Adanya selasar yang dibentuk oleh selisih lebar dan panjang antar teras juga merupakan Indeks bahwa orang harus melakukan perjalanan mengelilingi badan masing-masing teras.
Keseluruhan Sruktur sebagai ikon
            Dugaan dapat dikemukakan bahwa keseluruhan struktur Candi Jago, yang terdiri atas susunan bangunan, rangkaian relief, serta tata arca, merupakan ikon dari situasi keagamaan pada masa pendirian candi tersebut. Paling sedikit, candi ini merupakan ikon dari situasi keagamaan sebagaimana dilihat oleh para penguasa yang memegang peran sebagai pengambil keputusan dalam pembangunan candi itu.
Desain “altar gunung” diambil bagi Candi Jago ini mungkin untuk mengakui adanya kepercayaan dan pemujaan kepada Dewa Gunung yang dianut oleh kalangan pertapa pada khusunya, dan rakyat banyak pada umunya. Bahkan, kepercayaan ini mungkin sekali diintegrasikan ke dalam system kepercayaan agama Buddha melalui konsep gotra.
            Peletakan cerita arjunawiwaha di lingkungan teratas dari bangunan ini memerlukan penafsiran tersendiri.  Cerita ini yang berintikan keutamaan tapa serta buah yang didapat darinya, mungkin dilihat sebagai puncak pencapaian dari suatu proses pelaksanaan kegiatan keagamaan, proses yang secara keseluruhan diwujudkan sebagai ikon dalam bentuk keseluruhan struktur candi tersebut.
            Demikian telah dianjurkan analisis untuk menduga bagaimana sutau candi dibuat melalui suatu proses penandaan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pesan-pesan itu dapat secara langsung disampaikan. Konsep-konsep tertentu diwujudkan secara fisik, dan dapat pula berupa pesan tak langsung. Dalam hal dihadapkan pada keharusan untuk menafsirkan kembali tanda-tanda yang dibuat pada masa lalu. Selalu ada kemungkinan bahwa di sini terdapat komunikasi tanda yang luput.























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keseluruhan struktur Candi Jago, yang terdiri atas susunan bangunan, rangkaian relief, serta tata arca, merupakan ikon dari situasi keagamaan pada masa pendirian candi. Symbol sebagai penafsiran dibatasi oleh kebudayaan.
Sutau candi dibuat melalui suatu proses penandaan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pesan-pesan itu dapat secara langsung disampaikan. Konsep-konsep tertentu diwujudkan secara fisik, dan dapat pula berupa pesan tak langsung. Dalam hal dihadapkan pada keharusan untuk menafsirkan kembali tanda-tanda yang dibuat pada masa lalu. Selalu ada kemungkinan bahwa di sini terdapat komunikasi tanda yang luput.